REDAKSI LUWUK NEWS

PEMIMPIN REDAKSI: Zulfikar Saosang. REDAKTUR PELAKSANA: Farhan Junaedi Tapo. MANAGER IKLAN: Mentari Saosang. TARIF IKLAN: Umum Rp. 10.000,-/bulan. ALAMAT REDAKSI: Jl. Imam Bonjol No. 204 Km 2 Luwuk Telp. 085256585505 email : luwuknews@yahoo.com

16 Maret 2010

Terorisme dan Keniscayaan Pluralisme


Oleh : Ahmad Zayyadi
peneliti senior di The Annoqoyyah Institute, dosen IAI Nurul Jadid

Munculnya komplotan teroris di Aceh yang diduga terkait kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan penyergapan terhadap Dulmatin di Pamulang mengindikasikan bahwa terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi Indonesia. Kenyataan itu kembali membangkitkan rasa takut masyarakat terhadap terorisme pasca kematian Noordin M. Top.
Terorisme di Aceh dan fenomena Dulmatin membuktikan bahwa sistem regenerasi dalam jaringan terorisme bukan hanya merancang bom dan meledakkan bom bunuh diri. Jauh lebih penting dari itu adalah penanaman ideologi otoritarianisme yang menganggap hanya ijtihad pribadinya yang benar, menganut tafsir tunggal, dan menganggap semua aliran, tafsir, serta pemahaman orang lain adalah salah dan sesat.
Andai kata jaringan terorisme di Aceh yang saat ini diburu Densus 88 bukan termasuk komplotan mendiang Noordin M. Top, pandangan politik dan keagamaan mereka tetap sama. Demikian juga Dulmatin, tokoh teroris yang konon menjabat koordinator terorisme di Asia Tenggara. Sekalipun peran dia jauh di atas Noordin M. Top, landasan ”mazhabnya” juga sama. Yaitu, landasan otoritarianisme yang tidak mengakui keberagaman, menganggap semua penganut agama selain agamanya adalah calon penghuni neraka (baca: sesat) yang harus diperangi.
Mungkin saatnya kita memanifestasikan tesis Basam Tibi. Dalam bukunya, The Challenges of Fundamentalist Political Islam in The Newworld Disorder (l998), dia mengatakan bahwa untuk memberantas kekerasan atas nama agama adalah dengan pluralisme. Yaitu, penerapan demokrasi yang menghentikan segala bentuk kekerasan, menegakkan hak asasi tanpa pandang bulu, serta menghargai dan menghormati antarsesama.
Sayangnya, dalam konteks Indonesia, tidak muncul political wiil untuk ‘memazhabkan” pluralisme karena masih dianggap tabu. Memisahkan antara negara dan agama sering dianggap sebagai ”antek” neoliberalis. Padahal, bila hal tersebut dilaksanakan, lambat laun otoritarianisme sebagai pintu terorisme akan lenyap.

Pluralisme

Munculnya jaringan terorisme di Aceh dan penyergapan mematikan terhadap Dulmatin menunjukkan bahwa suburnya terorisme di Indonesia bukan karena pengaruh Al Qaidah. Itu juga bukan karena sepak terjang tokoh teroris sekaliber Imam Samudera, Amrozi, Muklas, Dr Azhari, Noordin M. Top, Syafiudin Zuhri, ataupun Dulmatin. Tetapi, doktrin otoritarianisme yang menyebabkan seseorang menjelma menjadi teroris, menganggap dirinya mujahid, hingga menjerumuskan kepada ”tindakan konyol” untuk mencapai ambisinya.
Marx Juersgensmeyer mengatakan dalam bukunya, Teror in Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (2002), bahwa otoritarianisme agama adalah pemicu utama kesengsaraan, malapetaka, serta berbagai macam aksi kekerasan yang menghalalkan segala cara.
Karena itu, sebuah keniscayaan bagi kita untuk membumikan pluralisme sebagai strategi menghapus paham otoritarianisme. Pluralisme menekankan kepada persamaan hak, mengakui, dan menghormati keberagaman tafsir dalam sekte-sekte agama, perbedaan keyakinan, dan menyingkirkan identitas tunggal dalam segala aspek. Pluralisme pula yang akan menghapus otoritarianisme yang menyebabkan seseorang terjebak pada sikap menghalalkan tindak kekerasan, seperti peladakan bom bunuh diri yang diyakini sebagai jihad fi sabilillah.
Otoritarianisme bisa muncul di mana saja dan kapan pun. Misalnya, sekolah-sekolah, perguruan tinggi, lingkungan sosial kemasyarakatan, pondok pesantren, didikan kedua orang tua dalam keluarga, kelompok-kelompok kecil seperti pengajian, organisasi kemasyarakatan, peraturan perundang-undangan yang tidak mengakui asas keberagaman, bahkan dari sosok pemimpin yang otoriter.
Atas dasar itu, membumikan pluralisme guna menghilangkan paham otoritarianisme adalah tugas semua pihak. Para pemuka agama, para orang tua, para guru dan dosen, serta para aktivis organisasi sosial kemasyarakatan memiliki peran vital dalam mempersempit lahirnya terorisme dengan cara menanamkan pendidikan pluralisme. Apabila doktrin otoritarianisme masih tertanam, jangan heran apabila masih muncul terorisme.

Kesenjangan Sosial

Di sisi lain, selain penekanan keamanan yang dilakukan institusi Polri, pemerintah juga harus menghapus kesenjangan sosial, seperti kemiskinan, tingginya angka pengangguran, dan kebodohan. Sebab, terorisme di Indonesia juga identik dengan persoalan kesenjangan sosial di tengah masyarakat. Karena kemiskinan dan kebodohan, generasi bangsa mudah dicuci otaknya sehingga terjerembab pada pemahaman otoritarianisme.
Menurut Martin E. Marty dan R. Scott Appleby dalam Fundamentalisms Observed (Chicago dan London, 1991), otoritarianisme dalam agama merupakan mekanisme pertahanan yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang mengancam, seperti persoalan krisis ekonomi dan politik. Kondisi semacam itu akan melahirkan gerakan ekstrem seperti terorisme.
Karen Armstrong (2000) juga menyatakan bahwa otoritarianisme agama seperti terorisme yang berkembang pada masa kini mempunyai hubungan erat dengan modernitas. Artinya, kelalaian pemerintah dalam mengatasi problem kemiskinan, pendidikan, pengangguran, bahkan maraknya korupsi akan menjadi celah munculnya terorisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar